Menurut wikipedia, jurnalistik berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar.
Setiap orang punya bakat nulis. Meski gag keren-keren banget tapi kalo cuma nulis, siapa sih yang gag bisa semasih dia mau belajar. Apalagi pada kalangan pelajar maupun mahasiswa yang secara notabene adalah kaum akademis. Hanya saja kepercayaan diri yang belum dimiliki.
Minimnya jumlah pendaftar baru anggota ekskul jurnalistik atau pers mahasiswa dan rontoknya jumlah anggota ditengah jalan.
Banyak hal yang memicu semua ini tergantung dari sudut pandang mana dan tentunya siapa yang mandang.
Yang perlu disorot adalah imej dari lembaga itu sendiri. Banyak teman eks-anggota jurnalistik bercerita, saat pertama masuk, mereka sudah ditugasi tugas berat seperti membuat artikel berita sebuah kegiatan sesuai tata cara penyajian berita ala seorang jurnalis.
Otak yang vakum menulis selama mengikuti ujian kelulusan pas kelas tiga terang saja shock dapet tugas yang bisa bikin kram otak ini. Coba mereka dikasi pemanasan dulu kayak bikin pantun, fiksi mini, cerpen parodi, pasti makin betah kerja di dalemnya. Terutama orang kayak saya yang males mikir. Hehehehe.
Banyak yang mengalami hal yang sama dan akhirnya mundur pelan-pelan di tengah jalan. Akhirnya kabar tentang "tugas berat" ini menyebar ke seluruh penjuru.
Imej jurnalistik kampus dan sekolah juga kadang bikin orang awam ilfil untuk ikut bergabung kesana. Bandingkan, berapa banyak remaja yang suka membaca koran dan yang membaca majalah? Sedangkan output jurnalistik sekolah dan kampus lebih mencerminkan sebuah koran.
Dengan kata-kata yang seakan penulis tu mau ngomong,"aku punya kosakata yang lebih daripada kamu,wee..:p". Akhirnya pembaca berpikir kalo mau menjadi anggota redaksi harus memiliki kosakata yang banyak banget. Jadi minder deh semua.
Prestasi lembaga jurnalistik juga harus ditingkatkan.Bila lembaga itu sudah punya nama, siapa sih yang gag bangga kalo tulisannya termuat ke dalamnya?
Mungkin gag melulu kita harus ngomongin kuantitas, namun sebuah lembaga bisa besar juga karena jumlah orang yang terlibat di dalamnya dan bagaimana lembaga itu mempertahankan orang-orang di dalamnya.
Mungkin sudah saatnya meniru media-media yang sudah besar di Indonesia. Cara penyajian yang ringan namun mengena dari segi berita dan pembaca akan membuat daya tarik orang untuk masuk ke dalamnya.
Semoga jurnalistik dalam jiwa remaja Indonesia makin bergairah.
Selamat hari selasa kawan, bagaimana menurut kalian cara merangsang minat jurnalistik di kalangan remaja dan pemuda?
*)gambar jurnalis dicolong dari Dwi Maria
Setiap orang punya bakat nulis. Meski gag keren-keren banget tapi kalo cuma nulis, siapa sih yang gag bisa semasih dia mau belajar. Apalagi pada kalangan pelajar maupun mahasiswa yang secara notabene adalah kaum akademis. Hanya saja kepercayaan diri yang belum dimiliki.
Minimnya jumlah pendaftar baru anggota ekskul jurnalistik atau pers mahasiswa dan rontoknya jumlah anggota ditengah jalan.
Banyak hal yang memicu semua ini tergantung dari sudut pandang mana dan tentunya siapa yang mandang.
Yang perlu disorot adalah imej dari lembaga itu sendiri. Banyak teman eks-anggota jurnalistik bercerita, saat pertama masuk, mereka sudah ditugasi tugas berat seperti membuat artikel berita sebuah kegiatan sesuai tata cara penyajian berita ala seorang jurnalis.
Otak yang vakum menulis selama mengikuti ujian kelulusan pas kelas tiga terang saja shock dapet tugas yang bisa bikin kram otak ini. Coba mereka dikasi pemanasan dulu kayak bikin pantun, fiksi mini, cerpen parodi, pasti makin betah kerja di dalemnya. Terutama orang kayak saya yang males mikir. Hehehehe.
Banyak yang mengalami hal yang sama dan akhirnya mundur pelan-pelan di tengah jalan. Akhirnya kabar tentang "tugas berat" ini menyebar ke seluruh penjuru.
Imej jurnalistik kampus dan sekolah juga kadang bikin orang awam ilfil untuk ikut bergabung kesana. Bandingkan, berapa banyak remaja yang suka membaca koran dan yang membaca majalah? Sedangkan output jurnalistik sekolah dan kampus lebih mencerminkan sebuah koran.
Dengan kata-kata yang seakan penulis tu mau ngomong,"aku punya kosakata yang lebih daripada kamu,wee..:p". Akhirnya pembaca berpikir kalo mau menjadi anggota redaksi harus memiliki kosakata yang banyak banget. Jadi minder deh semua.
Prestasi lembaga jurnalistik juga harus ditingkatkan.Bila lembaga itu sudah punya nama, siapa sih yang gag bangga kalo tulisannya termuat ke dalamnya?
Mungkin gag melulu kita harus ngomongin kuantitas, namun sebuah lembaga bisa besar juga karena jumlah orang yang terlibat di dalamnya dan bagaimana lembaga itu mempertahankan orang-orang di dalamnya.
Mungkin sudah saatnya meniru media-media yang sudah besar di Indonesia. Cara penyajian yang ringan namun mengena dari segi berita dan pembaca akan membuat daya tarik orang untuk masuk ke dalamnya.
Semoga jurnalistik dalam jiwa remaja Indonesia makin bergairah.
Selamat hari selasa kawan, bagaimana menurut kalian cara merangsang minat jurnalistik di kalangan remaja dan pemuda?
*)gambar jurnalis dicolong dari Dwi Maria